AKPINDO

Selasa, 13 November 2018

Indahnya Gunung Prau 2565mdpl

CERITA PENDAKIAN PERTAMA DI GUNUNG PRAU

Puji syukur kepada Tuhan karena telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mencapai puncak Gunung Prau. Gunung Prau adalah gunung yang terletak di dataran tinggi Dieng, Wonosobo dengan ketinggian 2565 mdpl.
Pendakian ini merupakan pendakian pertama bagi Anggota Khusus ke-31 (AK-31) Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Plantagama (KMPA Plantagama). Kami (Wita “Simbok”, Rengganis “Ramut”, Mulia “Anu”, dan Idris “Kacang”) mendaki ditemani oleh kakak kami Venita “Kecret” dan Sandhi “Kagol”. Perjalanan kami berlangsung selama 2 hari, yaitu tanggal 18-19 april 2015. Kami menggunakan angkutan umum untuk transportasi pulang pergi Jogja – Dieng (Basecamp Patak Banteng). Hal ini sekaligus melatih manajemen perjalanan yang baru kami pelajari.
1Foto bersama sebelum keberangkatan. Kiri ke kanan: Kecret, Ramut, Kacang, Simbok, dan Anu.
Hari Pertama (Sabtu, 18 April 2015)
Sabtu pagi pukul 06.00 WIB, kami berkumpul di rumah tercinta, Sekretariat KMPA Plantagama. Kami sarapan bersama di Sekre, mengecek daftar peralatan, dan melakukan packing hingga pukul 08.00 WIB. Sebagai pendaki, kita harus melakukan pengecekan alat dengan teliti karena peralatan dan logistik yang dibawa ketika pendakian dapat menentukan keselamatan kita di alam bebas. Kami mengadakan mini seremonial dengan menyanyikan lagu Mars Plantagama dan berdoa bersama sebelum berangkat bersama Uzi “Hamboh”, teman selatdas yang tidak bisa bergabung dalam pendakian ini. Kami uzi di parkiran sebelum berangkat dan berdoa bersama. Kami berangkat dari Sekre hanya berlima karena Kagol tidak bisa berangkat dari Jogja, dia menunggu bus yang kami tumpangi di Temanggung. Pukul 08.30 WIB, kami berjalan menuju shelter Trans Jogja di depan Kopma UGM. Kami sampai di shelter Trans Jogja pukul 09.00 WIB. Sembari menunggu bus di shelter, kami isi dengan foto-foto, maklum lah anak muda (baca: alay). Bus datang, kami berangkat menuju terminal Jombor. Biaya Trans Jogja (18 April 2015) adalah Rp 3.600,00 per orang.
2Perjalanan menuju halte
Kami sampai di terminal Jombor pukul 10.05 WIB. Kami istirahat di terminal Jombor sekitar 30 menit karena ada salah satu anggota yang sakit. Rengganis “Ramut” mual karena tidak terbiasa naik transportasi umum. Manajemen kita diuji, apalagi bagi leader. Leader harus mengambil keputusan dengan baik dan dengan pertimbangan yang matang. Melihat kondisi Ramut, kami memutuskan untuk istirahat agak lama. Walaupun jadwal kami menjadi molor dari rencana awal tapi keputusan ini demi kebaikan bersama. Kondisi Ramut semakin memburuk. Ramut muntah dan mengeluh pusing, Ramut sempat meminta kami meninggalkannya di terminal sehingga kami bisa berangkat lebih dulu, tapi hal itu takkan pernah terjadi karena kita punya prinsip “no one left behind”. Prinsip yang saya dapat dari SMP dan tidak akan pernah saya lupa, dalam kondisi apapun tidak ada yang boleh ditinggalkan. Apalagi dalam satu tim, kita harus tetap bersama sampai kembali pulang.
Pukul 10.35 WIB, kami melanjutkan perjalanan ke Magelang. Biaya bus dari Jombor ke Magelang adalah Rp 12.000,00 per orang. Pukul 11.25 WIB, bus berhenti di terminal Muntilan. Kami pikir kami turun di terminal tersebut. Kami beruntung diberitahu salah seorang penumpang bus bahwa terminal Magelang masih jauh sehingga kami tidak jadi turun.
Pukul 12.00 WIB kami sampai di terminal Magelang. Kami turun dan berpindah bus kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal Wonosobo. Biaya bus dari Magelang ke Wonosobo adalah Rp 25.000,00 per orang. Bus memasuki kota Temanggung kemudian saya menghubungi Kagol yang menunggu bus kami di terminal bayangan Maron, Temanggung. Informasi berupa foto bus yang kami tumpangi memudahkan Kagol mengenali bus tersebut. Teman-teman masih lelap tidur di bus ketika Kagol menyetop bus dan bergabung dengan rombongan ini. Roda bus kembali bergerak menuju terminal Wonosobo.
Pukul 14.45 WIB kami tiba di terminal Wonosobo. Hujan sangat deras, memaksa kami untuk menunggu sejenak di terminal. Tidak lama setelah kami turun, kernet bus menghampiri kami dan menanyakan apakah kami akan ke Dieng. “Ya”, jawab kami. Sebentar saja kami bernegosiasi ongkos transportasi menuju ke Dieng dengan Pak kernet. Kami sepakat dengan tarif Rp 20.000,00 per orang menuju basecamp pendakian Gunung Prau di Desa Patak Banteng. Cukup mahal memang. Tetiba, seorang wisatawan asing yang satu bus dengan kami dari terminal Magelang nampak bertanya kepada kernet bus bagaimana menuju Dieng. Karena kendala bahasa dan mengetahui bahwa kami juga akan ke Dieng, Pak kernet meminta si bule menanyakannya ke kami. Saya sendiri tidak terlalu mahir berbahasa Inggris, sehingga saya minta tolong Kagol untuk mengobrol dengan si bule. Kagol menyampaikan ke saya bahwa si bule juga ikut bergabung dengan rombongan kami.
Beberapa menit kemudian, pak kernet memanggil kami dari bus yang akan kami tumpangi. Dengan segera rombongan kami menaiki bus bersama dengan carrier di punggung masing-masing. Hujan masih deras, supir bus tancap gas membawa kami menuju Patak Banteng, Dieng. Sepuluh menit perjalanan, alih-alih hujan reda justru kabut tebal memperpendek jarak pandang. Kami sangat khawatir hujan akan berlangsung lama. Beruntunglah kami, Tuhan masih berbaik hati meredakan hujan dan menyibakkan awan mendung selepas tanjakan curam.
Sepertinya, si bule berbicara banyak dengan Kagol. Kagol memberi tahu kami bahwa nama bule cewek itu adalah Pin. Kami tidak tahu tujuan Pin mau ke mana, dia hanya mengatakan bahwa dia ingin ke Dieng. Oleh karena itu, kami menawarkan ke dia untuk ikut naik Gunung Prau bersama kami. Pin menerima tawaran kami dengan senang hati. Perempuan tersebut merupakan warga Korea Selatan yang bekerja di Singapura. Dia merasa butuh liburan setelah 1 tahun bekerja sehingga memutuskan untuk berlibur sendiri ke Indonesia. Menurut saya, Pin merupakan cewek pemberani, baik, dan ramah.
Kembali ke perjalanan… Kami sampai di Patak Banteng pukul 16.05 WIB. Sesampainya di basecamp kami langsung menuju tempat makan, karena teman-teman belum makan sejak berangkat dari Sekre. Kami istirahat, sholat, dan makan hingga pukul 17.15 WIB. Lima menit berselang, kami melapor ke petugas basecamp sebelum memulai pendakian. Setiap pendaki diwajibkan membayar biaya retribusi sebesar Rp 10.000,00 dan menulis identitas anggota tim di buku registrasi pendaki.
3Jalan menuju basecamp
Perjalanan dari basecamp ke Pos 1 masih santai. Trek berupa anak tangga cor semen melewati pemukiman warga, setelah itu melalui jalan berbatu yang cukup lebar. Kami sampai di Pos 1 pukul 18.00 WIB. Pendaki diharuskan menyerahkan karcis pendakian kepada petugas di Pos 1 kemudian petugas akan memberikan gambar jalur pendakian. Perjalanan kali ini kami lakukan dengan santai, mengingat kondisi salah satu anggota yang sakit dan merupakan pendakian pertama bagi beberapa teman. Toh puncak Prau tidak akan lari.
Selepas Pos 1, jalur pendakian mulai terjal dan licin. Trek berupa tanah basah dan becek karena hujan. Kami melewati lahan pertanian yang berada dekat dengan lembah curam, sehingga harus berhati-hati dalam melangkah sama seperti ketika memilih jalan hidup (*ea ea ea~).
Pukul 18.45 WIB, kami beristirahat di sebuah gubuk petani di tepi ladang. Ketika kami sampai di gubuk ada rombongan lain yang juga sedang istirahat. Kami bersyukur, mereka mau berbagi tempat dengan kami. Sebenarnya sedikit tidak enak karena rombongan tersebut segera beranjak setibanya kami di gubuk. Tapi ya, mau bagaimana lagi tempatnya tidak mencukupi. Terkadang hal seperti ini yang membuat saya tidak pernah kapok naik gunung. Orang – orang di gunung (pendaki) selalu baik walaupun belum saling kenal. Berbeda dengan kehidupan di bawah sana. Saya merasa semua seperti keluarga ketika berada di gunung.
Rombongan pendaki lain menghampiri gubuk, giliran kami beranjak untuk melanjutkan perjalanan. Setelah lima belas menit perjalanan dari gubuk, kami sampai di Pos 2. Jarum jam pendek menunjukkan angka tujuh. Kami tidak beristirahat di Pos 2.
Jalur pendakian tetap konsisten menanjak. Kepala kami seringkali mendongak, berharap bertemu dengan jalur landai setelah tanjakan. Namun, jalur landai masih menjadi angan belaka. Pukul 19.15 WIB, kami istirahat di pinggir jalur pendakian sekitar 2 menit, kemudian kembali melanjutkan pendakian.
Pepohonan yang menutup jalur pendakian semakin jarang. Jalur pendakian mulai terbuka seiring bertambahnya ketinggian. Kami melihat pemandangan sekitar, kerlap kerlip lampu di pedesaan terlihat sangat indah saat dilihat dari atas. Pukul 19.25 WIB, kami beristirahat sekitar 5 menit. Cukup banyak ya istirahatnya, hehe. Pendaki memang sebaiknya beristirahat ketika sudah lelah. Lebih baik sering mengambil istirahat sebentar daripada harus beristirahat selamanya :D.
Pukul 20.30 WIB kaki kami melangkah perlahan melewati Pos 3. Selepas Pos 3, jalur pendakian semakin terjal, licin, dan berupa trek bebatuan. Karena terjal dan melewati batu besar (boulder), terdapat tali yang sengaja disediakan untuk membantu para pendaki. Entah, tali tersebut disediakan oleh siapa. Mendekati sunrise camp, jalur pendakian masih terjal tetapi lebih mudah dilewati karena jalur telah dibuat menyerupai anak tangga.
Pukul 21.50 WIB, kami sampai di sunrise camp. Kami langsung mencari camping ground dan mendirikan tenda. Kami mendirikan dua tenda, satu tenda buat cowok-cowok maho dan satu lagi buat cewek-cewek kece bareng bule Korea (hehe). Sementara teman-teman cowok mendirikan tenda, saya menemani Ramut yang kelelahan. Dia muntah lagi di dekat camping ground. Benar-benar kasihan melihat dia, tapi saya salut karena dia mampu bertahan sampai sunrise camp. Ramut tidak pernah mau ketika kami menawarkan untuk memindahkan barang bawaannya ke tas carrier kami. Sama seperti saat latihan dasar (latdas) beberapa bulan lalu, dia tidak ingin menyusahkan teman-temannya walaupun kondisi dirinya tidak fit.
Setelah tenda didirikan, kami siap-siap untuk masak. Kami sudah terlalu kelaparan :D. Simbok memasak beras dan sayur (menjadi nasi dan sup) dibantu Kecret, Anu, Kacang, dan Kagol. Nasi yang saya masak memang tidak terlalu matang, tapi setidaknya lebih tanak daripada waktu latdas. Yeee~, Simbok sekarang bisa masak. Namun sayang, nafsu makan yang tadi memuncak tidak cukup untuk mendorong kami menghabiskan makanan yang telah dimasak. Makanan yang dimasak terlalu banyak sehingga tidak habis. Simbok jadi sedih :(.
4Masak-masak
5Salah satu menu makan malam
Selesai makan kami mengobrol. Anak SMA di tenda sebelah mengajak kami mengobrol tapi saling saut antar tenda. Berawal dari menanyakan nama dan asal hingga berlanjut ke obrolan tentang Bayu SKAK. Kocak-kocak pokoknya. Asyik, padahal kami tidak melihat siapa yang diajak mengobrol. Ya… seperti yang saya bilang tadi, di gunung semua seperti keluarga. Malam terlalu malam, pagi terlalu pagi. Pukul 01.30 WIB, kami istirahat dan bobo cantik 🙂 :*.
Hari Kedua (Minggu, 19 April 2015)
Pukul 05.15 WIB, kami terbangun karena mendengar suara Om Kiting yang memanggil “Latdas 31!!!”. Om Kiting adalah cowok paling ganteng saat ini yang masih sering ke Sekre. Sayangnya doi sudah punya istri L. Orang pertama yang mendengar suara Om Kiting adalah Ramut, fans beratnya Om Kiting. Ketika mendengar panggilan kedua, kita (Simbok dan Ramut) langsung heboh dan buru-buru ke luar tenda. Saya keluar lebih dulu, lalu melihat ada dua orang berdiri di kerumunan tenda. Kemudian saya mendengar suara Lola, langsung saya panggil Lola.
Oh iya, Lola dan Kiting adalah kakak tingkat kita di Plantagama. Mereka menyusul kami naik motor dari Jogja ke Dieng dan mulai mendaki dini hari. Setelah sampai di tenda kami, Lola langsung bikin rusuh bangunin anak-anak dan ngajak ke puncak. Kami naik ke puncak pasca kerusuhan yang dibuatnya. Kami foto-foto di puncak sampai jam 7 pagi. Pemandangan di sini benar-benar keren. Golden sunrise yang menghangatkan, bunga-bunga Daisy yang cantik, dan Gunung Sindoro-Sumbing yang gagah berdiri serta bersandingan. Pokoknya keren abis deh.
7Tim pendakian Prau KMPA Plantagama
Ketika matahari muncul kami baru sadar kalau ada ratusan orang di atas gunung ini. Seperti ada festival tenda, sangat ramai. Pagi ini, kami bertemu dengan anak Temanggung yang mengobrol dari tenda sebelah semalam, kemudian berfoto bersama. Kami jalan-jalan ke puncak bukit yang lainnya dan ternyata tenda-tenda lain masih terlihat.
8Festival tenda 😀
Setelah puas jalan-jalan, kami kembali ke tenda untuk membuat sarapan :D. Simbok masak kacang pagi ini (kacang beneran, bukan Idris “Kacang”). Pukul 09.00 WIB, kami selesai sarapan. Kami segera berkemas untuk turun gunung. Sebelum turun, kami foto bersama di lokasi kami mendirikan tenda. Kami akan menggunakan jalur Dieng Kulon untuk perjalanan turun gunung sehingga kami harus berpisah dengan Om Kiting dan Lola yang harus turun lewat jalur yang sama karena mereka memarkir motor di basecamp Patak Banteng.
Sesi kemas-kemas dan foto-foto cukup lama. Pukul 10.00 kami baru mulai perjalanan turun. Kami turun bersama rombongan lain. Perjalanan lewat jalur Dieng Kulon sangat keren. Jalur awal turun via Dieng Kulon dari puncak sunrise sebagian besar landai, melewati bukit “teletubbies”, dan hamparan bunga Daisy. Kami berhenti sejenak untuk foto-foto (lagi), rasanya kami pengen guling-guling di hamparan bunga Daisy yang kece badai itu.
9Hamparan Daisy di bukit teletubbies
1011Bunga Daisy
Gerimis datang, kami masih berada di tengah-tengah sabana di atas Gunung Prau. Kami segera memakai ponco. Pukul 12.00 WIB, kami sampai di puncak Gunung Prau yang sebenarnya. Teman-teman pembaca perlu mengetahui bahwa sunrise camp atau puncak terdekat dari jalur Patak Banteng bukan puncak yang sebenarnya. Kabut tebal menyelimuti puncak Prau sehingga kami tidak bisa melihat keindahan kawasan Dieng.
Kami istirahat sebentar di puncak kemudian melanjutkan perjalanan turun. Selepas puncak Prau, jalur mulai curam dan licin karena hujan. Pin seringkali terpeleset karena licin. Kami sampai di persimpangan yang dekat dengan puncak tower. Arah ke kanan (dari sunrise camp) adalah arah ke puncak tower sedangkan arah ke kiri adalah jalur turun menuju Dieng Kulon.
Jalur pendakian Dieng Kulon lebih panjang daripada jalur pendakian Patak Banteng. Trek pendakian didominasi oleh trek tanah agak liat seperti lempung sehingga sangat licin ketika hujan. Sebagian trek pendakian berbatu dan terkadang kita melewati jalur di tepi jurang. Hati-hati memilih jalan ya kawan.
Lebih dari satu jam kami menuruni Prau, kami menemui hutan, pertanda bahwa kami sudah semakin dekat dengan ladang dan pemukiman warga. Jalur pendakian masih licin. Kami beberapa kali istirahat. Hutan terlewati, kami pun melintas di tengah hamparan lahan pertanian. Kami menemukan bunga yang besar dan bagus banget sebelum masuk lahan pertanian. Eits… Ingat!, bunganya tidak boleh diambil ya.
Pukul 14.25 WIB, kami sampai di pemukiman. Kami mencari lokasi basecamp Dieng Kulon tetapi tidak menemukannya. Kami melanjutkan perjalanan mengikuti jalan beton hingga tembus ke jalan raya Wonosbo-Dieng, tepat sebelum pertigaan masuk kawasan wisata Dieng. Kami istirahat di warung makan sekalian makan siang.
Pukul 15.10 WIB, kami melanjutkan perjalanan pulang menuju terminal Wonosobo menggunakan bus. Alhamdulillah, tarif bus lebih murah daripada ketika berangkat karena dibantu menawar tarif oleh bapak pemilik warung makan. Makasih Pak J. Tarif bus dari Dieng ke terminal Wonosobo adalah Rp 17.000,00 per orang. Pukul 16.05 WIB, kami sampai di terminal Wonosobo. Setibanya di terminal, Kecret dan Kacang mengeluh sakit sehingga kami istirahat cukup lama dan sholat.
Hari sudah sore dan ternyata bus Wonosobo – Magelang sudah habis. Tadinya kita berencana naik travel tapi mahal. Jadilah kita naik bus jurusan Wonosobo – Semarang. Biaya bus dari terminal Wonosobo hingga Secang adalah Rp 20.000,00 per orang. Kami meninggalkan Wonosobo pukul 16.55 WIB. Setelah dua jam perjalanan dan tertidur di bus, kami sampai di pertigaan Secang pukul 19.00 WIB. Kagol sudah turun lebih dulu di Temanggung. Sayangnya saya masih tidur di bus ketika Kagol turun. Maaf ya instruktur :D. Sebenarnya di awal perjalanan dari terminal Wonosobo saya tidak bisa tidur nyenyak karena kasihan melihat teman-teman yang sakit. Menjadi leader ternyata tidak mudah ya…, tapi tetap asyik :D.
Kami berpindah angkutan untuk menuju ke terminal Magelang. Kami menunggu cukup lama di Secang. Syukurlah, dua puluh menit kemudian kami mendapat angkutan ke terminal Magelang. Tarif angkutan dari Secang ke terminal Magelang adalah Rp 5.000,00 per orang. Pukul 19.45 WIB kami tiba di terminal Magelang dan ternyata bus menuju Jogja sudah habis. Terpaksa deh, kami naik travel.
Seorang mahasiswa UGM ikut bergabung naik travel bersama rombongan kami sehingga kami pulang bertujuh. Ongkos travel Magelang – Jogja adalah Rp 170.000,00 per mobil sehingga kami membayar sekitar Rp 24.500,00 per orang. Memasuki kota Jogja, kami meminta sopir travel untuk mengantarkan Pin ke homestay lebih dulu. Ketika Pin turun, saya merasa sedih karena besok dia harus kembali ke Singapura. Hiks… nggak bisa ketemu lagi deh :’(. Kami tiba dengan selamat di Sekretariat Plantagama, Fakultas Pertanian UGM pukul 21.00 WIB. Alhamdulillah, walaupun ada tiga orang yang mabuk di jalan, tapi tetap bisa pulang bersama.
Perjalanan pertama dengan menyandang status AK ini sangat menyenangkan dan benar-benar melatih kepemimpinan, manajemen, dan kesabaran. Perjalanan ini merupakan pengalaman yang luar biasa. Banyak pelajaran yang bisa kami peroleh dari perjalanan Prau ini.
12Gunung Sindoro-Sumbing dari Gunung Prau.

>>Rekap biaya transportasi
  1. Berangkat/Pergi
Kopma UGM – Jombor            @3.600 via Trans Jogja
Jombor – Magelang                  @12.000 via Bus ekonomi
Magelang – Wonosobo              @25.000 via Bus ekonomi
Wonosobo – Dieng                     @20.000 via Bus ekonomi
  1. Pulang
Dieng – Wonosobo       @17.000 via Bus ekonomi
Wonosobo – Secang     @20.000 via Bus ekonomi
Secang – Magelang      @5.000 via Bus ekonomi
Magelang – Jogja          170.000 per mobil via Travel (mobil Av*nz*).
sumber: plantagama.wordpress.com/2015/06/04/cerita-pendakian-pertama-di-gunung-prau-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar